Sebagai
seorang muslim sudah seharusnya kita mengetahui dengan baik agama kita.
Karena dengan Islamlah seseorang bisa meraih kebahagiaan yang hakiki
dan sejati. Sebuah kebahagiaan yang tidak akan usang di telan waktu dan
tidak akan pernah hilang di manapun kita berada. Sebuah kebahagiaan
yang sangat mahal harganya yang tidak dapat diukur dengan materi dunia
sebesar apapun. Oleh karena itu sudah selayaknya bagi kita untuk
mempelajari Islam, terlebih lagi bagian inti dari Islam yang menjadi
pilar agama ini sehingga kebahagiaan pun bisa kita raih. Inilah Pilar
Itu
Rosul kita yang mulia telah memberitahu
kepada kita seluruh perkara yang bisa mengantarkan kita pada
kebahagiaan yang hakiki dan abadi yaitu surga Allah subhanahu wa ta’ala
dan beliau juga telah memperingatkan kita dari seluruh perkara yang
dapat menjerumuskan kita pada kehancuran dan kebinasaan yang abadi
yaitu azab neraka yang sangat pedih yang Allah sediakan bagi
orang-orang yang bermaksiat kepada-Nya. Demikianlah kasih sayang Rosul
kita kepada umatnya bahkan melebihi kasih sayang seorang ibu pada
anaknya.
لَقَدْ جَاءكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ
“Sungguh telah datang kepadamu seorang
Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat
menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi
penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At Taubah: 128)
Rosul kita telah memberi tahu pada kita tentang pilar agama Islam yang
mulia ini. Beliau bersabda yang artinya, “Islam ini dibangun di atas
lima perkara: (1) Persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang berhak
disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, (2) mendirikan
sholat, (3) menunaikan zakat, (4) pergi haji ke baitullah, dan (5)
berpuasa pada bulan Romadhon.” (HR. Bukhari Muslim)
Demikian
pula ketika menjawab pertanyaan malaikat Jibril yang bertanya kepada
beliau, “Wahai Muhammad! Beri tahukan kepadaku tentang Islam?” Kemudian
beliau menjawab, “Islam adalah Engkau bersaksi bahwa tidak ada
sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan
Allah, kemudian Engkau mendirikan sholat, kemudian Engkau menunaikan
zakat, kemudian Engkau berpuasa pada bulan Ramadhon, kemudian Engkau
menunaikan haji jika mampu.”
Kemudian ketika beliau kembali
ditanya oleh malaikat Jibril, “Wahai Muhammad! Beri tahukan kepada ku
tentang Iman?” Kemudian beliau menjawab, “Engkau beriman kepada Allah,
malaikat-Nya, kitab-Nya, utusan-Nya, hari akhir dan Engkau beriman pada
takdir Allah yang baik maupun yang buruk.” (HR. Muslim)
Demikianlah Rosul kita memberikan pengertian kepada umatnya tentang
Islam, apa itu Islam yang seharusnya kita jalankan? Dan bagaimana
seorang menjalankan Islam? Dalam hadits tersebut dapat kita ambil
kesimpulan bahwa Islam adalah perkara-perkara agama yang lahiriah
sedangkan iman adalah perkara-perkara yang terkait dengan hati.
Sehingga jika digabungkan istilah Iman dan Islam maka hal ini
menunjukkan hakikat agama Islam yaitu mengerjakan amalan-amalan lahir
yang dilandasi keimanan. Jika ada orang yang mengerjakan amalan-amalan
Islam namun perbuatan tersebut tidak dilandasi dengan keimanan, maka
inilah yang disebut dengan munafik. Sedangkan jika ada orang yang
mengaku beriman namun ia tidak mengamalkan perintah Allah dan Rasulnya
maka inilah yang disebut dengan orang yang durhaka.
Berdasarkan hadits tersebut sekarang kita tahu bahwa agama Islam ini dibangun di atas lima pilar:
1. Mengucapkan dua kalimat syahadat bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.
2. Menegakkan sholat.
3. Menunaikan zakat.
4. Berpuasa pada bulan Ramadhan.
5. Pergi haji ke tanah suci jika mampu.
Dan kelima hal inilah yang disebut dengan Rukun Islam yang merupakan
pilar utama tegaknya agama Islam ini. Barang siapa yang mengerjakan
kelima pilar ini, maka ia berhak mendapatkan janji Allah subhanahu wa
ta’ala berupa surga-Nya yang penuh dengan kenikmatan.
Makna Islam
Jika kita mendengar kata Islam, maka ada dua pengertian yang dapat kita
ambil. Pengertian islam yang pertama adalah Islam secara umum yang
memiliki makna:
Berserah diri kepada Allah dengan tauhid dan
tunduk serta patuh pada Allah dengan menjalankan ketaatan kepadanya dan
berlepas diri dari perbuatan menyekutukan Allah (syirik) dan berlepas
diri dari orang-orang yang menyekutukan Allah (musyrik). Islam dengan
makna yang umum ini adalah agama seluruh Nabi Rosul semenjak nabi Adam
‘alaihi salam.
Sehingga jika ditanyakan, apa agama nabi Adam,
Nuh, Musa, Isa nabi dan Rosul lainnya? Maka jawabannya bahwa agama
mereka adalah Islam dengan makna Islam secara umum sebagaimana yang
telah disebutkan di atas.
Demikian juga agama para pengikut Nabi
dan Rasul sebelum nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
Islam dengan pengertian di atas, pengikut para Nabi dan Rasul terdahulu
berserah diri pada Alah dengan tauhid, tunduk dan patuh kepada-Nya
dengan mengerjakan amal ketaatan sesuai dengan syariat yang dibawa oleh
nabi dan Rasul yang mereka ikuti serta berlepas diri dari kesyirikan
dan orang-orang yang berbuat syirik.
Agama pengikut nabi Nuh adalah Islam,
agama pengikut nabi Musa pada zaman beliau adalah Islam, agama pengikut
nabi Isa pada zaman beliau adalah Islam dan demikian pula agama
pengikut nabi Muhammad pada zaman ini adalah Islam. Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman,
مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيّاً وَلاَ نَصْرَانِيّاً وَلَكِن كَانَ حَنِيفاً مُّسْلِماً وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan
(pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi
berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk
golongan orang-orang musyrik.” (QS. Ali Imran: 67)
Allah juga berfirman,
هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمينَ مِن قَبْلُ
“Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu.” (QS. Al Hajj: 78)
Sedangkan pengertian yang kedua adalah makna Islam secara khusus yaitu:
Agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam, yang mencakup di dalamnya syariat dan seluruh ajaran yang
dibawa oleh Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan inilah makna Islam secara mutlak,
artinya jika disebutkan “Agama Islam” tanpa embel-embel macam-macam,
maka yang dimaksud dengan “Agama Islam” tersebut adalah agama Islam
yang dibawa oleh nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sehingga orang-orang yang masih
mengikuti ajaran nabi Nuh, nabi Musa atau ajaran nabi Isa setelah
diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka orang ini
tidaklah disebut sebagai seorang muslim yang beragama Islam. Di samping
itu, ada pengertian Islam secara bahasa yaitu Istislam yang berarti
berserah diri.
Inilah
pilar Islam yang pertama dan utama yaitu Dua Kalimat Syahadat,
persaksian bahwa tidak ada Tuhan yang berhak untuk disembah selain
Allah subhanahu wa ta’ala dan persaksian bahwa Muhammad adalah utusan
Allah. Tanpa adanya pilar ini, maka tidak ada bangunan Islam dari diri
seseorang. Demikian pula jika pilar ini hancur, maka akan ikut hancur
pula bangunan Islam dari diri seseorang. Oleh karena itu sudah
seharusnya seorang muslim memperhatikan dan senantiasa memelihara hal
yang satu ini dalam seluruh waktu dan kehidupannya.
Persaksian bahwa tidak ada Tuhan yang
berhak untuk disembah selain Allah subhanahu wa ta’ala dan persaksian
bahwa Muhammad adalah utusan Allah tidak cukup hanya sekedar di lisan
saja, namun lebih dari itu, seorang yang bersaksi haruslah mengetahui
dan meyakini hal yang dia saksikan serta mengamalkan konsekuensi
kesaksiannya tersebut.
Jika ada seorang saksi yang berbicara
dengan lisannya bahwa dia telah melihat sesuatu namun ternyata hal
tersebut tidaklah benar alias dia hanya berbohong maka saksi seperti
ini disebut saksi palsu.
Demikian juga, jika ada orang yang
mengucapkan kedua kalimat syahadat dengan lisannya, namun ternyata
hatinya tidak meyakininya, maka orang ini adalah seorang pendusta.
Allah subhanahu wa ta’ala menyebutnya sebagai orang munafik ketika
mereka mengatakan bahwa mereka bersaksi bahwa Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah, namun Allah mendustakan
persaksian palsu mereka yang tidak muncul keyakinan tersebut. Allah
berfirman:
إِذَا جَاءكَ الْمُنَافِقُونَ قَالُوا
نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ
لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ
“Apabila orang-orang munafik datang
kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu
benar-benar Rasul Allah.” Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu
benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya
orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.” (QS. Al
Munafiquun: 1)
Kalimat yang pertama dari dua kalimat syahadat
ini, yaitu kalimat Laa Ilaha Illallah bukanlah kalimat yang ringan dan
sepele. Ada makna yang sangat dalam dan konsekuensi yang sangat besar
di balik kedua kalimat ini. Bahkan Allah pun menjadi saksi kalimat Laa
Ilaha Illallah ini. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
شَهِدَ اللّهُ أَنَّهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ
هُوَ وَالْمَلاَئِكَةُ وَأُوْلُواْ الْعِلْمِ قَآئِمَاً بِالْقِسْطِ لاَ
إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Allah menyaksikan bahwasanya tidak ada
Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan.
Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang
demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ali Imran: 18)
Kalimat Laa Ilaha Ilallah, sebagaimana penjelasan para ulama, memiliki makna:
لَا مَعْبُوْدَ حَقٌ إِلَا اللهُ
“Tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah selain Allah”
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ
وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِن دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ
الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
“Yang demikian itu, adalah karena
sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq dan sesungguhnya apa saja
yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya
Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al Hajj: 62)
Dari makna ini kita mengetahui adanya sesembahan selain Allah subhanahu
wa ta’ala yang disembah oleh manusia seperti kuburan, pohon, para Nabi,
malaikat, orang shalih dan lain sebagainya. Namun sesembahan tersebut
pada hakikatnya tidak berhak sama sekali untuk disembah dan diibadahi
karena yang berhak disembah dan diibadahi hanyalah Allah subhanahu wa
ta’ala.
فَمَا أَغْنَتْ عَنْهُمْ آلِهَتُهُمُ
الَّتِي يَدْعُونَ مِن دُونِ اللّهِ مِن شَيْءٍ لِّمَّا جَاء أَمْرُ
رَبِّكَ وَمَا زَادُوهُمْ غَيْرَ تَتْبِيبٍ
“Karena itu tiadalah bermanfaat sedikit
pun kepada mereka sembahan-sembahan yang mereka seru selain Allah, di
waktu azab Tuhanmu datang. Dan sembahan-sembahan itu tidaklah menambah
kepada mereka kecuali kebinasaan belaka.” (QS. Huud: 101)
Dalam ayat ini, Allah menyebutkan bahwa orang-orang musyrik memiliki
sesembahan selain Allah. Namun sesembahan itu sama sekali tidak dapat
memberikan manfaat pada mereka ketika datang azab Allah.
Oleh
karena itu, sungguh suatu fenomena yang sangat menyedihkan sekali
ketika kita melihat ada seorang muslim yang sudah mengucapkan kedua
kalimat syahadat, namun dia masih melakukan berbagai macam bentuk
peribadatan kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala baik itu kepada
orang shalih, kuburan, jin penunggu dan lain sebagainya. Di antara
penyebab terjadinya hal ini adalah ketidaktahuan terhadap agama Islam
yang menimpa banyak kaum muslimin di zaman ini. Terlebih lagi tidak
tahu terhadap tauhid yang merupakan inti dari agama Islam.
Dalam
kalimat لا اله إلا الله terkandung dua aspek yang sangat penting. Yang
pertama yaitu aspek peniadaan/negasi, hal ini tercermin pada
kata-kata لا اله(Tidak ada sesembahan yang berhak disembah) yang
berarti meniadakan dan segala macam bentuk peribadatan pada selain
Allah, apapun bentuknya. Para ulama mengistilahkan aspek pertama ini
dengan istilah An Nafyu (النفي). Sedangkan aspek yang kedua yaitu aspek
penetapan, hal ini tercermin pada kata-kata إلا الله (kecuali Allah)
yang berarti menetapkan bahwa seluruh macam bentuk peribadatan hanyalah
untuk Allah semata. Para ulama mengistilahkan aspek pertama ini dengan
istilah Al Itsbat (الإثبات).
Kedua aspek ini sangatlah penting untuk
dipahami dengan benar oleh seorang muslim yang ingin merealisasikan dua
kalimat syahadat ini. Karena, jika seorang muslim salah dalam
memahaminya, maka ia akan salah pula dalam merealisasikannya. Contohnya
bisa kita lihat pada orang-orang yang sekarang disebut dengan JIL
(Jaringan Islam Liberal), sebagian mereka (baca: Nurcholis Madjid)
menafsirkan dan memaknai kalimat Tauhid dengan makna “tidak ada tuhan
(dengan t kecil) kecuali Tuhan (dengan T besar)”.
Dengan
tafsiran yang salah ini, mereka menyamakan seluruh Tuhan yang ada yang
disembah manusia. Ujung kesimpulan mereka, mereka mengatakan bahwa
Tuhan seluruh agama adalah satu hanya berbeda-beda dalam penyebutannya.
Semoga Allah memberi hidayah kepada orang-orang seperti ini dan
menjauhkan kaum muslimin dari pemikiran seperti ini.
Kedua
aspek ini pulalah yang telah dipahami oleh Nabi Ibrahim ‘alaihi salam
Imam orang-orang yang bertauhid, bapaknya para Nabi dan Rasul. Allah
berfirman ketika menceritakan perkataan Ibrahim ‘alaihi salam,
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ
وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاء مِّمَّا تَعْبُدُونَ إِلَّا الَّذِي فَطَرَنِي
فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ وَجَعَلَهَا كَلِمَةً بَاقِيَةً فِي عَقِبِهِ
لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata
kepada bapaknya dan kaumnya: “Sesungguhnya aku berlepas diri terhadap
apa yang kamu sembah, tetapi (aku menyembah) Tuhan Yang menjadikanku;
karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku.” Dan lbrahim
menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya
supaya mereka kembali kepada kalimat tauhid itu.” (QS. Az Zukhruf:
26-28)
Nabi Ibrahim ‘alaihi salam, menafikan seluruh
sesembahan yang disembah oleh kaumnya dengan mengatakan bahwa beliau
berlepas diri dari hal tersebut. Kemudian beliau menetapkan bahwa
peribadatan beliau hanyalah kepada Tuhan yang telah menciptakan beliau
yaitu Allah subhanahu wa ta’ala. Kemudian beliau menjadikan kalimat لا
اله إلا الله tersebut kekal untuk keturunannya.
Kemudian bagian kedua dari dua kalimat
syahadat ini yaitu persaksian bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Allah
subhanahu wa ta’ala telah menegaskan bahwa telah ada seorang Rasul di
antara manusia ini yang Allah utus, dan dialah Nabi kita, teladan kita
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
لَقَدْ جَاءكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ
“Sungguh telah datang kepadamu seorang
Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat
menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi
penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At Taubah: 128)
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ
رَسُولاً مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ
وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي
ضَلَالٍ مُّبِينٍ
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang
buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan
ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka
Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya
benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Al Jumuah: 2)
Makna kalimat kedua ini adalah yang meyakini bahwa Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam diberi wahyu oleh Allah dan meyakini beliau adalah
benar-benar utusan Allah, serta beliau adalah penutup para Nabi. Oleh
karena itu, barang siapa yang berkeyakinan bahwa beliau tidaklah diberi
wahyu oleh Allah subhanahu wa ta’ala maka persaksiannya tidaklah sah.
Hal ini banyak kita saksikan di zaman sekarang, ada orang-orang yang
meragukan agama Islam.
Mereka mengatakan bahwa Al Quran dan
Hadits hanyalah konsep yang disusun oleh Muhammad dan bukan wahyu yang
diturunkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala yang kemudian konsep tersebut
dijalankan oleh para sahabatnya.
Barang siapa yang meyakini
bahwa beliau tidaklah diutus untuk menyampaikan sesuatu yang telah
diperintahkan kepada beliau, maka persaksiannya tidaklah sah. Demikian
juga barang siapa yang menganggap adanya Rasul dan utusan Allah setelah
Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka persaksiannya
tersebut tidaklah sah. Sebagaimana diklaim oleh sebagian orang yang
mengatakan bahwa ada di antara kelompoknya yang menjadi Nabi seperti
Mirza Ghulam Ahmad atau Nabi-nabi kelas lokal seperti Lia Aminuddin dan
lain sebagainya.
Persaksian bahwasanya Muhammad adalah utusan
Allah memiliki konsekuensi yaitu taat terhadap perintah beliau,
membenarkan berita yang beliau bawa, dan menjauhi seluruh larangan
beliau dan kita beribadah kepada Allah hanya dengan syariat yang beliau
bawa. Syaikh Nu’man bin Abdul Kariim Al Watr berkata dalam Taisir
Wushul, “Taat dengan perintah beliau yaitu menaati Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau memerintahkan kita.
Karena taat pada beliau adalah taat pada Allah dan karena perkataan
beliau tidak berasal dari hawa nafsu dan Rasulullah hanya memerintahkan
kita dengan hal-hal yang bermanfaat bagi dunia dan agama kita.
Membenarkan berita yang beliau bawa karena beliau adalah orang yang
jujur dan dibenarkan dan karena perkataan beliau tidak berasal dari
hawa nafsu dan merupakan konsekuensi beriman bahwa beliau adalah
benar-benar Rasulullah adalah membenarkan perkataan beliau. Menjauhi
seluruh larangan beliau karena perkataan beliau tidak berasal dari hawa
nafsu dan beliau hanya melarang kita dari hal yang tidak bermanfaat
bagi dunia dan agama kita.
Beribadah kepada Allah hanya
dengan syariat yang beliau bawa karena orang yang beribadah pada Allah
dengan syariat selain beliau maka dia telah melakukan bid’ah. Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Barang siapa yang
beramal dengan amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan
tersebut tertolak.” (HR. Muslim)” (Taisir Wushul hal: 73).